Oleh: Oki lukito | 28 Juli 2021

Menggagas Olimpiade Maritim

Kontingen Indonesia di cabang olahraga (cabor) air di laga Olmpiade Tokyo 2020 belum menunjukkan prestasi membanggakan. Di cabang renang, Aflah Prawira, Azzahra Permatahani  terhenti di babak kualifikasi masing masing nomor yang diikutinya. Peselancar muda, Rio Waida yang sukses melaju ke babak 16 besar cabor surfing papan pendek putra gagal ke putaran berikutnya. Sementara tim dayung juga gagal menembus semifinal nomor lightweight double sculls diwakili pasangan Mutiara Rahma Putri dan Melani Putri.

Pada Olimpiade Tokyo 2020 yang berlangsung  23 Juli-8 Agustus 2021 Indonesia menyertakan 28 atlet untuk delapan cabang olahraga. Sebelas atlet bulu tangkis, lima atlet angkat besi, empat atlet panahan. Cabor atletik, renang, dayung masing-masing menyertakan dua atletnya, sementara selancar (surfing) dan menembak satu orang. Dalam hal ini Cabor darat masih mendominasi keikutsertaan Indonesia dalam pesta olahraga akbar itu.

Sebagai negara yang mendeklarasikan Poros Maritim Dunia kita prihatin, Indonesia seharusnya lebih banyak  menyertakan cabor air dan atletnya ke ajang olahraga paling bergengsi itu. Negara maritim memiliki konsekuensi mengembangkan bidang perairan dan kelautan salah satunya melalui olahraga air ini. Perhitungan menang atau kalah urusan kemudian walaupun prestasi tetap menjadi tujuan utama, akan tetapi jati diri sebagai bangsa bahari seharusnya tetap dikedepankan.

Sebagai Negara Maritim dituntut mampu mengelola dan mendayagunakan sumber daya kelautan secara maksimal dan menjaga kelestarian laut dan lingkungannya. Banyak bukti negara kontinental contoh Tiongkok, Thailand, Vietnam, Jepang, Kanada, Belanda dan Singapura tidak memiliki laut luas, namun mampu memberdayakan sumber daya lautnya dan berprestasi di berbagai olahraga air.

Di bidang olahraga Indonesia cukup dikenal memiliki sejarah membanggakan. Prestasinya juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari beberapa prestasi cabor seperti bulu tangkis, panahan, angkat beban, atletik dan pencak silat. Semua olahraga tersebut adalah olahraga di darat. Hal itu seharusnya menjadi pemacu semangat bagi bangsa ini untuk bisa menorehkan prestasi pula di bidang olahraga air. 

Di Cabor dayung misalnya, rekam jejaknya membuktikan mempunyai prestasi besar, antara lain menorehkan catatan tinta emas di Qinzhou Dragon Boat Race 2016. Menjadi juara umum menyisihkan China dan Hongkong. Prestasi lainnya Tim Dayung Putra Putri, sukses  pula meraih 2 medali emas, 3 perak, 2 perunggu pada kejuaraan Dunia 14 th IDBF World Dragon Boat Racing Championships 2019 di Pataya Rayong, Thailand. Prestasi diatas adalah modal optimisme bahwa sebetulnya bangsa ini mampu meraih prestasi di Cabor air di pentas dunia.

Sebagai referensi terdapat beberapa spot potensial dan beberapa cabor air yang dapat dikembangkan dan diandalkan. Antara lain selancar, snorkeling, selam, Polo Air, selain layar dan dayung. Cabor selancar misalnya memiliki beberapa spot alami terbaik dunia. Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Uluwatu (Bali), Plengkung (Banyuwangi), Pantai Watu Karung (Pacitan-Jawa Timur), Lagundri (Nias), Surf Dessert Point (Lombok), Ombak Tujuh (Sukabumi), Kepulauan Panaitan (Jawa Barat), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), serta yang paling terkenal adalah Mentawai (Sumatera Barat).

Khusus untuk olahraga air lainnya seperti menyelam dan snorkeling, beberapa titik terkenal, antara lain Bunaken dan Siladen (Manado), Menjangan Bali, Komodo (Flores), Raja Ampat (Papua), Wakatobi (Sulawesi), Pulau Weh (Sumatera), dan Kepulauan Gili (Lombok). Indonesia memang berpotensi besar menjadi fasilitator Olimpiade Maritim. Ditambah lagi dengan dragon boat, finswimming, spearfishing, lifesaving sport, hingga underwater photography yang memungkinkan dilombakan dalam ajang olahraga.

Pada event itu dirancang pula menjadi ajang promosi olah raga tradisional pesisir yang layak dikompetisikan serta tidak kalah aktraktifnya dengan Bola voli pantai.  Sedikitnya terdapat dua cabor tradisional bernuansa laut yang bisa diusung ke kancah dunia dengan tetap mempertahankan kearifan lokal. Olahraga tradisonal seperti Ski lot misalnya. Adu balap selancar lumpur asal Desa Tambak Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ski Lot adalah atraksi tahunan yang diselenggarakan setiap tahun saat hari raya ketupat. Tradisi ini merupakan tradisi turun temurun penduduk desa Pantai Lekok, Pasuruan Jawa Timur dan peserta lomba umumnya para nelayan.

Ada  pula Pathol, olahraga tradisional masyarakat pesisir pantai utara mirip Sumo. Letak perbedaannya dalam olahraga ini peserta yang tidak memiliki tubuh tambun boleh terjun di arena pertarungan untuk melawan orang lain yang memiliki perawakan sepadan. Pemain Pathol bertelanjang dada dan di pinggang masing-masing dililitkan kain sarung atau tali “dadhung” untuk tempat pegangan lawan. Tidak ada matras, arena pertandingan dilakukan di tempat terbuka biasanya di pinggir pantai berpasir.

Indonesia sebagai negara berdaulat telah berhasil melaksanakan Diplomasi Maritim sejak Deklarasi Djuanda 1957 dengan hasil Konsep Negara Kepulauan dan melahirkan norma hukum baru yang diakui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Akan tetapi pasca Deklarasi Djuanda itu belum ada lagi karya spektakuler terkait jati diri bangsa bahari yang mendunia. Sejatinya kita ini bangsa yang besar, melimpah sumber daya alam, kaya ide dan sarat gagasan.

Dalam pelaksanaan Olimpiade Tokyo kita sangat berharap tim official Kontingen Indonesia tidak terjebak tugas rutin, mengawal atlet dan menghitung kemungkinan perolehan medali. Akan tetapi diharapkan pro aktif melakukan diplomasi olahraga dengan melontarkan gagasan perlunya diselenggarakan olimpiade maritim. Sekali dayung dua pulau terlampaui, sekaligus mempromosikan potensi wisata bahari Indonesia.

Oleh: Oki lukito | 28 Juli 2021

Lip Service Negara Maritim

Musibah kapal kembali terjadi beruntun dalam hitungan hari. Sebanyak 18 kapal tenggelam di perairan Kalimantan Barat akibat cuaca ekstrim (18/7/2021). 13 kapal nelayan, 2 kapal tunda,1 yacht, 1 tongkang dan 1 kapal penumpang, total138 penumpang terlibat dalam musibah tersebut dan sekitar 43 orang masih belum diketemukan. Sebelumnya laka laut menimpa Kapal Motor Penumpang Yunicee yang melayani penyeberangan Jawa-Bali tenggelam di Selat Bali, tidak jauh dari Pelabuhan Gilimanuk.

Kapal Ferry Yunicee tenggelam mambawa 56 orang, termasuk 15 anak buah kapal (ABK), sejumlah truk dan kendaraan pribadi. Enam orang meninggal dunia, delapan orang diperkirakan hilang belum diketahui nasibnya. Sebelum musibah KM Yunicee, kebakaran kapal penumpang di Maluku Utara dialami KM Karya Indah yang berangkat dari Pelabuhan Ternate menuju Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula. Tidak ada korban jiwa dalam peritiwa kebakaran kapal dengan kapasitas 500 penumpang itu. Penumpangya diselamatkan nelayan setempat.

Data Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkan pada tahun 2019 tercatat 32 orang korban meninggal dan 43 korban hilang akibat kecelakaan moda transportasi laut. Korban musibah kapal Arim Jaya pada 16 Juni 2019 di Pulau Raas, Jawa Timur paling banyak korbannya, 20 orang meninggal dan 1 orang hilang. Tahun 2018 tercatat 25 musibah kapal tenggelam dan diprediksi sejak tahun 2015 hingga 2021 lebih dari 50 kali terjadi peristiwa laka laut dengan korban ratusan penumpang maupun ABK.

Peristiwa mengenaskan itu menambah panjang daftar jumlah musibah di laut yang hampir setiap bulan terjadi sepanjang tahun sejak Poros Maritim dicanangkan. Rentetan peristiwa ini membuktikan, pemerintah setengah hati dan tidak berusaha secara konkret menata sistem transportasi laut nasional secara sistematis, efektif, efisien, dan aman. Dampaknya, musibah di laut terus berulang.

Peristiwa laka laut pada umumnya jika dicermati disebabkan human eror, pemangku kepentingan seperti otoritas pelabuhan, operator kapal, penumpang, dan petugas lalai mematuhi aturan atau protap. Kapal sering mengangkut penumpang melebihi kapasitas. Petugas meloloskan kendaraan atau penumpang yang membawa barang mudah terbakar atau meledak serta membiarkan kendaraan tidak diikat di dalam kapal. Disamping faktor cuaca yang sering disepelekan.

Petugas juga percaya pada surat pernyataan pengemudi kendaraan tentang barang yang diangkut, tanpa melakukan pengecekan fisik. Selain itu kelaikan kapal dan keselamatan pelayaran sering pula diabaikan. Demkian pula usia kapal yang sudah renta, sebagian besar rata-rata di atas 30 tahun  adalah faktor dominan menyebabkan musibah di laut.

Pencananganan Poros Maritim dan Tol Laut oleh Presiden Joko Widodo tahun 2014 atau pertama kali Jokowi menjadi Presiden, ternyata belum berdampak signifikan terhadap pembangunan kelautan khususnya keselamatan pelayaran. Secara fisik program tersebut berhasil meningkatkan aset infrastruktur pelabuhan dan menambah jumlah kapal angkut penumpang dan barang.  Sebaliknya pemborosan dana APBN yang dialokasikan untuk mensubsidi BBM kapal perintis dan membayar biaya logistik tidak sepadan dengan hasilnya.

Besarnya kucuran APBN belum memberi dampak positif  menekan disparitas harga komoditas di wilayah Barat dan Timur sebagaimana diharapkan. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah 2021 beberapa waktu lalu, Joko Widodo bahkan mengungkapkan investasi idle, ada temuan pelabuhan dibangun tetapi tidak ada jalan aksesnya sehingga tidak manfaat.

Jika dicermati, Poros Maritim dan Tol Laut belum mencakup semua aspek kemaritiman dan terkesan lip service. Disamping itu implementasinya hanya sebatas di permukaan belum pada kedalaman lautan persoalannya. Pembangunan fisik diprioritaskan dan tidak menyentuh kepada sisi sumber daya manusianya. Soft skill kemaritiman kurang mendapat perhatian dan selalu diposisikan sebagai pinggiran dalam pendidikan dan pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini sangat ironis mengingat hampir 70 persen wilayah Indonesia merupakan laut dengan potensi ekonomi sangat besar.

Keberpihakan politik ataupun ekonomi dalam pembangunan kelautan sangat minim. Regulasi yang menyentuh kelautan disingkirkan. Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan dan UU Pesisir No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dikandaskan Omnibus Law, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan sangat luas, Indonesia praktis hanya mempunyai satu payung hukum  yang mengatur penggunaan laut, yaitu UU No 21/1992 tentang Pelayaran, disempurnakan dengan UU No 17/2008 untuk mengontrol dan mengawasi semua jenis kegiatan di perairan Indonesia.

Visi Kelautan Indonesia mewujudkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia menjadi negara maritim yang maju, berdaulat, mandiri, kuat, tampaknya masih amburadul di tataran implementasi. Tidak dilibatkannya armada kapal rakyat (Pelra) dalam Tol Laut adalah salah satu bukti pemerintah mengabaikan peran pelayaran  rakyat sebagai pelayaran perintis sejak dekade tahun 60.

Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) dalam Perpres No 16 tahun 2017 penyusunannya mengacu pada visi Pembangunan Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, hingga habis masa berlakunya pada tahun 2019 rencana aksinya belum terealisasi .

Sebagai referensi. salah satu dari tujuh pilar KKI adalah soal pengembangan Sumber Daya Manusia Kemaritiman. Sejak diundangkan, peningkatan SDM Kemaritiman belum dapat diwujudkan antara lain melalui program peningkatan pendidikan. Menko Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi belum berhasil mensinkronkan kurikulum kemaritiman di semua jenjang pendidikan.

Sangat disesalkan amanat UU Kelautan dan Perpres KKI itu tidak dijalankan. Sementara generasi muda yang terlanjur mengenyam pendidikan paradigma darat, kurang berminat menekuni apalagi mengembangkan potensi lautnya. Sejatinya pendidikan kemaritiman pada strata pendidikan formal sangat dibutuhkan untuk menanamkan dan menumbuhkan kembali semangat serta jiwa bahari.

Oleh: Oki lukito | 14 Juli 2021

Pajak Laut ‘Cium Pantat’

Istilah Cuci Pantat dan Cium Pantat sangat populer di dunia pelayaran khususnya bagi ABK yang mengawaki kapal dagang tradisional sejenis phinisi yang melegenda itu. Cuci pantat dilakukan setiap tahun untuk membersihkan siput laut atau binatang laut lainnya yang menempel keras di lambung Kapal Motor (KM) atau Kapala Layar Motor (KLM) terutama di bagian yang selalu terendam air. Istilah kerennya pelimbungan atau doking ringan sebagai salah satu persyaratan pula untuk  mengantongi sertifikat keselamatan berlayar. Apa kaitannya dengan pungli?

Masalah pungli di kawasan pelabuhan kembali mencuat saat Presiden Joko Widodo menerima keluhan dari para sopir truk kontainer di Tanjung Priok, Jakarta beberapa waktu lalu. Faktanya bukan hanya soal pemalakan sopir truk oleh preman, pungli diindikasi endemik dalam industri pelayaran. Korbannya bukan hanya kapal niaga nasional (INSA) tetapi merambah ke armada kapal rakyat tradisional (Pelra) yang melayani logistik antarpulau menjangkau pulau terdepan, terluar, tertinggal maupun menjamah pula kapal nelayan.

Sejujurnya praktek pungli bukan hanya di pelabuhan, akan tetapi di tengah lautpun pungutan tidak resmi itu marak dan akut. Dampaknya berimbas pada tarif biaya logistik. Secara tidak langsung biaya operasional dibebankan pada tarif jasa yang ujung ujungnya dibayar konsumen. Perlu dicatat sebelum terbit Perpres No 87 Tahun 2016 tanggal 21 Oktober tentang Saber Pungli, kapal nelayan, armada pelayaran rakyat sering menjadi bulan bulanan oknum Penegak Hukum (Gakum) di Laut. Mulai dari pungutan Rp 50 ribu, ratusan ribu bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah.

Ditengarai perbuatan rasuah itu juga merasuk di otoritas pelabuhan yang berurusan dengan penerbitan Surat Pemberitahuan Berlayar (SPB). Sebab pada kenyataannya tidak semua kapal terutama kapal rakyat dan kapal ikan mempunyai kelengkapan dokumen yang disyaratkan regulator. Misalnya dokumen radio, kesehatan dan kelaikan kapal, manifest ABK, buku pelaut nakhoda, juru mesin, kelasi serta kelengkapan keselamatan berlayar dijadikan modus. Celah lainnya adalah penerbitan surat dispensasi barang muatan Dek Kapal (on deck) yang prakteknya tawar menawar.

Persoalan lain yang menghantui sekitar 800 kapal Pelra dan rentan dipungli adalah aturan ketentuan titik serah solar bersubsidi yang tidak diberikan di lokasi asal kapal. Contohnya, kapal ada di Pelabuhan Gresik tetapi titik serah solarnya berada di Semarang sesuai aturan BPH. Migas. Padahal kapal tersebut tidak memiliki trayek ke Semarang. Untuk menuju Semarang perlu biaya tambahan membeli solar non subsidi, harganya lebih mahal Rp 3-5 ribu per liter. Sementara SPBB sebagai penyalur solar subsidi rentan dikenakan sanksi jika melanggar. Hal itu tak pelak dijadikan incaran oknum.

Buku pelaut  menjadi sasaran empuk oknum aparat. Pasalnya salah satu buku pelaut untuk Juru Mesin Pelayaran Rakyat (JMPR) dan Mualim Pelayaran Rakyat (MPR) yang berwarna merah tidak berlaku di sejumlah daerah antaralain di Makassar. Sedangkan yang di Pulau Jawa buku pelaut hanya bisa diurus di Semarang, Buku pelaut Basic Safety Training (BST) warna hijau yang diterbitkan Kementerian Perhubungan untuk ABK  KLM/KM banyak yang tidak memenuhi ketentuan menyangkut ijazah kelulusan dan pengurusannya via online tidak bisa diakses lagi.

Ironisnya lagi praktek pemalakan itu pernah dialami 4 kapal nelayan asal Probolinggo, Jawa Timur. Keempat kapal ikan setelah seminggu melaut dihadang di perairan  Pelabuhan Ikan Mayangan, Kota Probolinggo. Nakhodanya dimintai sejumlah uang oleh oknum Kapal Patroli karena tidak bisa menunjukkan surat kesehatan ABK. Keesokan harinya uang Rp 4 juta yang diminta sehari sebelumnya dikembalikan. Operasi gelapnya bocor ke petinggi di Instansi di Kawasan Ujung, Tanjung Perak Surabaya. Demikian pula dengan digantungnya ijin beroperasi kapal cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) rawan dijadikan ajang pungli.

Peristiwa serupa kerap dialami armada kapal rakyat di sejumlah wilayah ketika keluar atau masuk pelabuhan. Di Gresik misalnya, nakhoda kapal dengan trayek Gresik-Banjarmasin sedikitnya harus berbekal uang ekstra Rp 5-8 juta sekali jalan. Ditengarai terdapat 6-8 lokasi “cium pantat”  atau pemalakan yang menjadi lokasi penghadangan. Kapal penghadang bisa bebagai jenis dari kelas patroli hingga speedboat. Besarnya uang yang diminta bervariasi antara  Rp 100-500 ribu tergantung dari asal institusinya. Jika dokumen kapal ditemukan cacat atau kadaluarsa taripnya jutaan rupiah.

Pernah terjadi nakhoda kapal dengan muatan kosong dari Banjarmasin diminta setor Rp 3 juta, lokasinya sekitar 10 mil sebelum masuk Pelabuhan Gresik. Operasi ‘ramah lingkungan’ itu terbongkar setelah nakhoda menginfokan ke salah satu NGO. Dua hari kemudian uang dikembalikan atas perintah petinggi salah satu instansi Gakum Jawa Timur. Sebelumnya sebuah KLM dari Kota Waringin menuju Gresik mendapat perlakuan yang sama di muara Sampit, Kalimantan Tengah.

Kejadian serupa juga dialami kapal yang keluar Pelabuhan Kalimas, Surabaya tujuan Bima, NTB maupun Makassar. Pemilik kapal mengeluh, nakhodanya dimintai Rp 3-4 juta sekali jalan. Di pelabuhan Paotere, Makassar kapal rakyat keluar masuk pelabuhan, nakhoda rutin menyiapkan ‘upeti’ Rp 2-3 juta sedangkan untuk keluar masuk Pelabuhan Bima Rp 200-300 ribu. Hal serupa berlangsung pula di perairan Kalimantan Selatan, sekitar Batu Licin, Banjarmasin yang merupakan pangkalan kapal rakyat dari berbagai daerah. Pemalakan tampaknya bukan rahasia umum dan hampir semua pemangku kepentingan pelayaran menyesalkan hal tersebut.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sejak dibentuk belum mampu mengkondisikan kementrian di bawahnya untuk pencegahan dan penertiban pungli yang semakin marak terjadi. Banyak lembaga terlibat penegakan peraturan pelayaran, seperti TNI Angkatan Laut, Polisi Laut (Polair), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Bea dan Cukai, Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) atau Port Security Authority hingga Administrator Pelabuhan (Adpel) akan tetapi bertindak sendiri sesuai dengan payung hukum institusinya.

Undang-Undang (UU) No 17/2008 tentang Pelayaran mengamanatkan pemerintah untuk membentuk Badan Penjagaan Laut dan Pantai (sea and coast guard), lembaga tunggal yang berwenang dalam kegiatan penegakan aturan di bidang pelayaran. Menurut catatan kurang lebih 9 instansi mempunyai kewenangan di laut. Sebanyak 7 instansi diantaranya memiliki kapal patroli yaitu TNI-AL, Polair, KPLP (Kementerian Perhubungan), Bea Cukai (Kementerian Keuangan), Satgas 115 KKP dan Bakamla. Dengan banyaknya instansi yang mengurusi laut seharusnya pemangku kepentingan pelayaran merasa nyaman dan aman selama beraktivitas di laut.  Bukan sebaliknya satu kapal bisa diberhentikan dan diperiksa di tengah laut lebih dari dua kali oleh Kapal Patroli dari instansi berbeda.

 

Oleh: Oki lukito | 22 Februari 2021

Mafia Benur Berkibar

Awal bulan Februari ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melepasliarkan 3.256 Benih Bening Lobster (BBL) hasil sitaan. lokasinya di Selat Madura, tepatnya di perairan sekitar Pulau Lusi, Sidoarjo. Pada pertengahan bulan ini KKP kembali melepasliarkan 147.383 BBL hasil sitaan di zona inti Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kota Padang, Sungai Pisang, Sumatra Barat.

Hal itu membuktikan bisnis illegal benih lobster masih tetap berjalan walaupun Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menghentikan sementara kebijakan ekspor benih lobster pasca dilantik Presiden menggantikan Edhy Prabowo.  Sebelumnya, ekspor benih lobster sempat dilarang pada era Susi Pudjiastuti, tapi larangan itu dicabut pada saat Edhy Prabowo menjabat Menteri KKP.

Sejak adanya larangan ekspor benih lobster yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016, fakta di lapangan terjadi penangkapan BBL secara masal. Pengamatan penulis apa yang terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa Timur seperti Pacitan, Trenggalek, Banyuwangi, Tulungagung dan Jember terjadi penangkapan benih lobster secara besar besaran.

Ribuan sarana dan prasaran penangkapan benur didatangkan pemilik modal, juragan kapal untuk memberdayakan nelayan. Ada yang diberi perahu jukung lengkap dengan jaring, lampu celup, genset seperti di Grajagan, Pancer Banyuwangi maupun di Bandealit, Puger, Payangan Kabupaten Jember. Ada pula berupa rakit yang dimodifikasi menjadi keramba apung dilengkapi genset untuk sarana penerangan di atas maupun di bawah air sebagai pemikat benur seperti yang digunakan nelayan di Desa Panggul, Sudimoro, Ngadirojo, Tulakan Kabupaten Pacitan serta di Popoh, Sinai Kabupaten Tulungagung serta di Klatak, Prigi, Munjungan di Kabupaten Trenggalek.

Peredaran uang dari transaksi benur ini diprediksi ratusan miliar per hari. Jawa Timur salah satu penghasil BBL terbesar setelah Nusa Tenggara Barat dengan kapasitas produksi sekitar 5000.000 ekor per hari dengan keterlibatan sekitar 4000 nelayan benur yang direstui Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim maupun di KKP. Di saat bulan purnama jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat. Penghasil BBL lainnya Jawa Tengah (Cilacap), Jawa Barat di pesisir Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Garut  dan Tasikmalaya serta Sukabumi.

Walaupun dilarang penangkapan BBL tidak pernah berhenti setiap malam pesisir selatan di sentra sentra BBL suasananya seperti pasar malam. Sepanjang pantai dipenuhi gemerlap lampu penerangan dari perahu maupun rakit/bagan. Harganya masih memikat para nelayan benur, di tingkat petani harganya 5-7 ribu per ekor. Bakul kecil 8-9 ribu, bakul besar 10-11 ribu, pengepul 12-15 ribu. Untuk jenis lobster pasir (Panulirus Homarus), sedangkan untuk jenis mutiara (Panulirus Ornatus) di tingkat pengepul harganya 25-30 ribu per ekor dibeli dari nelayan hanya 12-15 ribu per ekor. Bakul dan pengepul akan membayar BBL lebih mahal  hasil tangkapan nelayan jika ada pengedar atau kurir yang tertangkap aparat.

Kalkulasi eksportir per ekor benur sampai di Vietnam negara tujuan ekspor menghabiskan Rp 25.000 dan harga di Vietnam 70.000 VND untuk  jenis pasir atau sekitar Rp 42.700, benih lobster mutiara keuntungannya lebih besar lagi. Pasaran mutiara 300.000 VND per ekor  atau sekitar Rp 183.000.

Dengan keuntungan yang menggiurkan ini mafia benur berusaha untuk terus melanjutkan usaha ilegalnya. Ulah mafia berhasil menggagalkan penjualan benur ke Vietnam secara legal. Sebab mereka dirugikan dengan adanya izin ekspor dan menyebabkan harga benur terjun bebas di bawah 1 dolar selama ekspor benur diijinkan.

Kaki tangan Bandar benur disebar untuk bisa mendapat benur sebanyak banyaknya. Para nelayan diberi modal untuk membuat sarana tangkap termasuk jaring dan genset, perahu, keramba apung/bagan maupun lampu celup senilai Rp30-35 juta perorang. Dengan syarat hasil tangkapan harus diserahkan ke pemberi modal dengan harga yang sudah ditentukan.

Tidak hanya mafia kelas atas diuntungkan dengan perdagangan gelap benih lobster. Pengepul juga berkiprah. Pembeli ditawari dengan beberapa opsi. Jika ingin diprioritaskan calon pembeli diminta dana kerjasama investasi Rp 100-200 juta dan dipastikan mendapat benur dengan harga di bawah pasaran. Dijamin benur yang dibeli aman sampai di tempat tujuan (Kediri, Surabaya, Jakarta, Batam, Medan, Denpasar, Yogyakarta). Sementara pembeli bebas harus berebut untuk mendapat benur dengan harga umum dengan resiko ditangkap aparat, barangya disita dan diperkarakan di pengadilan.

Nelayan paling diuntungkan dengan kondisi ini. Mereka bebas menangkap benur tanpa khawatir  ditangkap atau diperkarakan. Alat tangkap bebas dilabuh di kolam dermaga milik Pemprov Jatim tanpa pernah diusik oleh aparat Keamanan Laut Terpadu (Kamladu) yang menempati kantor atau penjagaan di pelabuhan. Hasil tangkapan semalam rata rata nelayan bisa mengantongi Rp 250-300 ribu. Penghasilan yang fantastis dibanding ketika masih menjadi nelayan tangkap dengan pendapatan Rp 75-100 ribu per hari. Dampak dari alih profesi dari nelayan tangkap ke nelayan benur, pemilik kapal ikan atau juragan kapal kerap mengeluh susah mencari ABK.

Pemerintah kurang tanggap dan tidak tegas menjalankan regulasi yang dibuatnya sendiri. Persoalan BBL ini kuncinya ada di hatchery atau membuat pembenihan sendiri serta menggalakkan budidaya lobster sehingga tidak lagi tergantung dari benih dan lobster tangkapan alam. Regulasi bagi eksportir BBL untuk melibatkan pembudidaya sebetulnya sudah ideal tetapi tidak dijalankan secara konsisten. Bagi mafia benur yang sudah menguasai peredaran dan mempunyai jaringan tampaknya lebih menikmati jika benur tetap dilarang diekspor. Kita tunggu kiprah Nakhoda baru KKP melamawan atau berdamai dengan mafia benur.

Oleh: Oki lukito | 22 Februari 2021

Pelabuhan Kalimas Riwayatmu Kini

Kesan kumuh tersirat di Kawasan Pelabuhan Kalimas, Tanjung Perak Surabaya. Tidak banyak kapal rakyat (Pelra) yang melakukan bongkar muat barang di Pelabuhan cagar budaya itu selama 10 tahun terakhir. Selama ini Kalimas dikenal sebagai Pelabuhan kapal rakyat (Pelra). Tempat sandar kapal kayu dan kapal kecil. Angkutan logistiklaut tersebut melayani barang kebutuhan pokok Surabaya-Indonesia Timur.

Kapal Kalimas tulang punggung arus perdagangan dari Surabaya ke pulau pulau kecil di wilayah Jawa Timur termasukdenganluar Jawa (Kalimantan- Lombok- Maluku-Sulawesi-Papua-Makassar) dan beberapa daerah terpencil, terdepan, terluar dan perbatasan. Kapal Kalimas tetap eksis meskipun dihimpit pertumbuhan kapal petikemas yang siknifikan.

Kesibukan di Pelabuhan Kalimas kini sudah berganti. Sederetan truk trailer berbaris parkir di seberang dermaga. Bukan mengangkut atau menurunkan muatan yang mau dikapalkan. Ada pekerja diantaranya yang sedang membongkar mesin dan roda truk trailer. Pelabuhan Kalimas sudah berubah fungsi merangkap dermaga parkir kendaraan berat dan bengkel insidentil.

Sementara puluhan truk lainnya memenuhi lahan kosong bekas bongkaran gedung lama yang merupakan bagian dari rencana revitalisasi. Diujung sebelah utara dermaga masih terlihat aktivitas bongkar muatan tetapi bukan kapal rakyat. Muara kalimas dipadati kapal kapal besi berbagai ukuran. Entah ulah instansi mana yang memberi izin yang jelas tidak senafas dengan program pembenahan Pelabuhan Kalimas. Selain Pelindo ada Otoritas Pelabuhan dan Syahbandar yang menjadi operator dan regulator di Tanjung Perak.

Bobot kapal besi ada yang mencapai 1000 DWT terkadang menghalangi alur dan menggangu lalu lintas kapal yang keluar masuk dermaga. Umumnya kapal kapal tersebut menghindari rapat antrian di Dermaga Mirah. Konon mereka memanfaatkan Pelabuhan Kalimas yang idle capacity, lebih leluasa, mengurangi cost serta prosedur yang tidak ribet.

Agak ketengah sekitar pos 5 dan pos 3 tempat sandar kapal Pelra tampak lengang hanya terlihat dua sampai tiga kapal yang beraktivitas. Padahal waktu masih berfungsi penuh, sedikitnya 100 kapal per hari dari berbagai daerah sarat muatan rempah dan hasil bumi lainnya termasuk kayu olahan. Pendangkalan menjadi momok, kedalaman hanya 2-3,5 meter. Mereka  harus menunggu air pasang untuk berolah gerak. Dalam satu bulan tercatat hanya sekitar 30-40 kapal yang labuh di Pelabuhan Kalimas.

Sebaliknya kapal yang akan berangkat ke berbagai tujuan diantaranya Kalimantan, Nusatenggara, Maluku dipenuhi dengan kebutuhan pangan sembilan bahan pokok selain pupuk, bahan bangunan. Itu dulu. Bahkan kepadatan sampai di bawah jembatan Petekan yang saat ini dibangun Dine Riverside. Kapal kapal kecil membawa muatan ikan, garam, pindang kendil dan buah buahan dari Madura dan Bawean langsung dijual di pasar petekan yang berada di pinggir dermaga.

Di bagian selatan dermaga, di sebelah lokasi River Side Dine yang kedalamannya kurang dari 2 meter saat ini berdiri bangunan bendungan air merangkap rumah pompa dan pintu air dilengkapi menara pengawas yang dibangun Pemkot Surabaya di atas lahan 2.500 meter persegi. Hal ini tidak singkron dengan program revitalisasi Pelabuhan Kalimas yang digagas Pelindo III. Tidak bisa dihindari Pompa air akan menggelontorkan jutaan kubik lumpur dan dipastikan akan memperparah pendangkalan di alur pelayaran sepanjang dua kilometer itu.

Kehadiran kapal besi dan pendangkalan alur menjadi penyebab kapal kapal rakyat enggan lagi memanfaatkan dermaga kalimas. Lebih dari seratus kapal hengkang ke Pelabuhan Gresik, sebagian lagi ke Tanjung Tembaga Probolinggo. Marwah Pelabuhan Kalimas sebagai Pelabuhan rakyat yang legendaris suram sinarnya. Senyampang kedalaman alur sungai tidak dinormalisasi, muara sungai tidak dibebaskan dari kapal besi, revitalisasi Pelabuhan Kalimas akan menjadi proyek Mercu Suar.

Siapa yang bertanggung jawab soal pengerukan alur yang berbentuk palung di tengah sungai selebar 35 meter itu masih jadi polemik. Menurut Undang Undang Pelayaran No 17 tahun 2008 kewenangan ada di Otoritas Pelabuhan.  Sebagai catatan PT. Alur Pelabuhan Barat Surabaya (APBS) pada Tahun 2019 melakukan pengerukan agar bisa digunakan kapal rakyat berlabuh, bersandar dengan maksimal.

Pekerjaan ini dihentikan karena terjadi insiden. Dermaga tua sepanjang 75 meter ambrol akibat kesalahan teknis pengerukan. Bibir dermaga tidak mampu menyanggah kendaraan berat pengeruk lumpur yang idealnya dilakukan oleh kapal keruk mengingat kondisi sungai yang berbentuk palung itu.

Rencana revitalisasi yang dicangkan Pelindo tidak mennyentuh kedalaman sungai. Terminal Kalimas akan dibagi menjadi tiga zona dengan kedalaman yang berbeda. Zona 3 akan digunakan untuk kegiatan Pelayaran Rakyat (Pelra) sedangkan zona 1 dan 2 yang lebih dangkal akan dimanfaatkan sebagai zona wisata. Rencana tahun ini akan dibangun apronsepanjang 1200 meter dari utara keselatan. Dermaga juga akan dilengkapi perangkat elektrik untuk kapal yang sandar agar tidak lagi menghidupkan jenset kapal. Pelabuhan Kalimas adalah bagian dari SurabayaKota Maritim yang layak dijadikan fishing port, sarana rekreasi air dan sentra pendidikan kemaritiman.

Oleh: Oki lukito | 25 Juni 2018

Armada Pelayaran Rakyat Menerjang Asa

Pada pertengahan Juni ini, terjadi dua kecelakaan kapal yang menelan korban cukup banyak. Menjelang Idul Fitri, Kapal Motor (KM) Arista jenis joloro, angkutan tradisional masyarakat pesisir di Sulsel, tenggelam di Selat Makassar dengan membawa puluhan penumpang (tanpa manifes). Sebanyak 35 penumpang bisa dievakuasi, 13 tewas, dan sisanya belum ditemukan.

Sepekan kemudian, kecelakaan kapal tradisional terjadi di Sumatera Utara. KM Sinar Bangun tenggelam di Danau Toba dengan korban tak kalah banyak. Lagi-lagi tanpa manifes.

Ujung-ujungnya, setelah kecelakaan, pemilik kapal dan masyarakat yang disalahkan. Padahal, sejujurnya di setiap pelabuhan, ada otoritas yang berwenang mengeluarkan izin berlayar dan memeriksa kelayakan kapal.

Sungguh mengenaskan di tengah gencarnya pemerintah mempromosikan program tol laut dalam visi poros maritim dunia yang dideklarasikan dalam Nawacita Kabinet Kerja, kelalaian keselamatan penumpang kapal menjadi momok dan terabaikan. Dua kapal motor tersebut adalah armada kapal rakyat tradisional di bawah 500 GT yang merupakan bagian dari subsistem Angkutan Laut Nasional (UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran).

Pelayaran rakyat (pelra) adalah usaha jasa transportasi dagang yang menggunakan armada tradisional (kayu) dengan memakai alat penggerak (mesin dan layar) atau disebut perahu layar motor (PLM) dan kapal layar motor (KLM). Dalam Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2010 dan Permenhub No 93 Tahun 2013 tentang Pelra disebutkan, KLM mempunyai bobot sampai dengan 500 gross tonnage (GT) dan kapal motor (KM) berbobot 7 GT hingga 35 GT.

Faktor keselamatan memang menjadi kendala utama bagi armada pelra. Banyak pemicunya. Antara lain, tidak semua kru kapal mengantongi sertifikat basic safety training (BST) yang wajib dimiliki ABK, mulai tapusere atau penarik layar, pakolong juru masak, mualim, hingga nakhoda atau juru mudi.

Armada pelra yang jumlahnya sekitar 15 ribu unit mengandalkan kapal kayu itu. Apa hendak dikata, memang diragukan keselamatannya karena tidak memperoleh jaminan dari lembaga klasifikasi.

Sementara itu, industri asuransi juga enggan menjamin pelra. Ribuan awak kapalnya, walaupun sarat pengalaman melaut, umumnya tidak memiliki sertifikat dasar keselamatan. Mereka tidak bisa mengikuti pelatihan basic safety training karena terkendala pendidikan yang rata-rata hanya lulus sekolah dasar itu. Aturan menyebutkan minimal harus mempunyai ijazah SMP dan sederajat.

Pemerintah rasanya tidak pernah hadir untuk mencari solusi dan memfasilitasi permasalahan tersebut. Juga tidak ada regulasi permanen yang mendukung pengoperasian pelra yang sudah kesulitan bahan baku kayu itu. Permasalahan lain adalah modal terbatas karena minimnya akses untuk memperoleh fasilitas pinjaman bank.

.Anak Tiri

Melihat kelengkapan keselamatan armada pelayaran rakyat (pelra) pada umumnya, terlalu jauh rasanya jika kita berbicara konvensi internasional untuk keselamatan jiwa di laut atau safety of life at sea (SOLAS), ketentuan keselamatan pelayaran sesuai aturan hukum pelayaran internasional (IMO), yang mutlak harus diberlakukan pada semua armada. Jadi, jangan heran jika armada pelra minim kelengkapan sekoci maupun jaket pelampung sebagai sarana utama keselamatan pelayaran. Kalaupun toh ada, sekadar untuk menyiasati aturan.

Kondisi pelayaran rakyat secara umum bagai hidup segan mati tak mau. Perannya yang penting dalam perdagangan antarpulau mengalami degradasi di tengah gempita program tol laut. Pamornya kalah oleh kapal modern maupun kapal perintis. Meski lahir lebih dahulu, boleh dikata armada pelra ibarat anak tiri jika dibandingkan dengan generasi kapal kontainer, kapal penumpang antarpulau, maupun kapal perintis. Bahkan, fasilitasnya boleh dikata minim sekali, berbeda misalnya dengan bantuan kapal nelayan yang setiap tahun digerojok atau dibangunkan pelabuhan khusus perikanan yang dilengkapi fasilitas tempat pelelangan ikan atau cold storage.

Kontainerisasi dan perkembangan IT telah mengubah pasar angkutan laut antarpulau. Sementara itu, industri pelayaran rakyat lamban menyikapi perubahan tersebut. Salah satu opsi pengembangan pelayaran rakyat adalah mendukung pariwisata sebagai sektor yang tumbuh pesat dengan kontribusi ekonomi dan lapangan kerja yang semakin besar.

Keselamatan armada pelra yang mengandalkan kapal kayu diragukan karena tidak memperoleh jaminan dari lembaga klasifikasi. Industri asuransi juga enggan menjamin angkutan laut pelra. Jumlah fasilitas docking kapal kayu bisa dihitung jari. Umumnya kapal rakyat diperbaiki di Pati, Jateng; Pasuruan dan Probolinggo, Jatim; atau Pasir Mayang, Kaltim, dengan fasilitas minim dan tradisional.

Di Jatim, misalnya. Provinsi itu memperoleh keuntungan Rp 100 triliun pada 2017 melalui perdagangan antarpulau. Tetapi, porsi jasa angkutan laut oleh pelayaran rakyat sangat minim. Sistem informasi perdagangan antarpulau (SIPAP) yang dikembangkan Pemprov Jatim tidak melibatkan peran pelra.

Industri pelra yang menyediakan kapal-kapal rakyat membutuhkan modernisasi agar memenuhi standar keamanan dan keselamatan. Hambatan perizinan pada industri galangan kapal perlu segera dicarikan solusinya. Tidak mudah memang merealisasikan docking kapal khusus armada pelra. Pemprov Jatim sudah menerbitkan Pergub No 31 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Pembangunan Kelautan Jatim. Salah satu diktumnya memfasilitasi docking kapal kayu yang representatif. Namun, realisasinya belum tampak.

Jawa Pos, 26 Juni 2018

*) Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, dan Perikanan; pengurus DPD Pelra Jawa Timur dan Bali

Oleh: Oki lukito | 23 Juli 2021

Patah Arang Urus Benih Lobster

Pemerintah resmi melarang ekspor benur atau benih bening lobster (BBL). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.). Pasca ekspor benih lobster atau benur dilarang untuk kedua kalinya itu Pemerintah belum mampu menghentikan ekspor benur illegal dan menggerakkan budidaya lobster.

Kendati dilarang penyelundupan benur secara masif terus berlanjut walau terjadi banyak yang gagal. Bulan Juni lalu Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Banten menggagalkan penyelundupan 77.971 benih lobster (benur) yang akan dikirim ke Vietnam melalui Sumatera. Petugas menggagalkan upaya penyelundupan di Merak, Banten, Rabu (9/6/2021). 

Selain dari wilayah selatan Jawa seperti Sukabumi, Pangandaran, Pacitan, Banyuwangi, Trenggalek, Tulungagung, Jember, benur yang akan diselundupkan disuplai pula dari pesisir barat Sumatra seperti Lampung, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Aceh  dan pada umumnya menggunakan jalur laut dari Kepuluan Riau (Kepri) tansit di Singapura sebelum berakhir di Vietnam.

Aktivitas penangkapan benur di pesisir selatan Jawa Timur sampai saat ini masih tetap berlangsung secara terbuka tidak bergeming dengan regulasi larangan ekspor benur. Penangkap benur dan pengepul setiap pagi masih bertransaksi harganya Rp 3-5 ribu (pasir) Rp 9-12000 (mutiara) per ekor. Untuk penyalur keberadaanya sama dengan tiada, selain sulit dihubungi mereka hanya bersedia bicara dan ditemui via orang kepercayaan. Mereka inilah tokoh kunci di lapangan, penentu sukses tidaknya benur sampai di Vietnam yang harganya 7-9 dolar per ekor dan mereka menjadi incaran aparat Penegak Hukum.

Tidak hanya mafia kelas atas diuntungkan dengan perdagangan gelap benih lobster. Pengepul juga banjir uang. Pembeli diikT beberapa opsi. Jika ingin diprioritaskan calon pembeli diminta dana investasi Rp 100-200 juta dan dipastikan memperoleh benur dengan harga di bawah pasaran. Dijamin benur aman sampai di tempat tujuan (Kediri, Surabaya, Jakarta, Batam, Medan, Denpasar, Yogyakarta). Sementara pembeli bebas yang tidak terikat harus berebut untuk mendapat benur dengan harga umum dengan resiko ditangkap aparat, barangya disita dan diperkarakan di pengadilan.

Sementara itu KKP yang bersemangat mengkapanyekan budidaya lobster belum banyak direspon masyarakat. Kendalanya, banyak aturan atau perijinan yang harus diurus dari tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat. Calon pembudidaya lobster harus mengantongi ijin lokasi, ijin lingkungan serta SIUPP budidaya yang dikeluarkan KKP. Pengurusannya pun via online, tidak dipahami sebagian besar  masyarakat pesisir yang masih gaptek.

Selain itu acuan teknis budidaya dan juklak yang sangat diperlukan  oleh calon pembudidaya juga belum tersedia. Terbatasnya jumlah penyuluh perikanan dan minimnya penguasaan teknis budidaya lobster menjadi kendala disamping permodalan yang tidak sedikit sekitar Rp 75 juta.

Ditengah ‘kegelisahan’ itu KKP mengumumkan akan mengajak Vietnam membudidayakan lobster di Indonesia. Harapannya, penyelundupan benur berhenti dan produksi lobster akan meningkat. Vietnam merupakan satu satunya negara yang sukses melakukan budidaya lobster mulai dari benih hingga ukuran konsumsi (250-300 gram). Harga lobster dunia berkisar 40-45 dolar atau sekitar Rp 500-650 ribu untuk size 0,5 kg.

Vietnam yang tidak mempunyai benur dan luas lautnya hanya 329.560 km2 mampu menjadi produsen terbesar lobster dunia. Sebagai referensi. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatat, dari Juli hingga November 2020, total ekspor benih lobster Indonesia mencapai 42,29 juta ekor. Dari jumlah itu, 42 juta ekor di ekspor ke Vietnam.

Ironi memang, kita yang mempunyai benih akan tetapi negara lain yang menikmati. Jika diamati sejak tahun 2016 pertama kali ekspor benur dilarang kita tidak memiliki kemauan untuk bisa membenihkan lobster dan membudidayakannya. Selama ini benih lobster tergantung dari tangkapan alam sementara budidaya baru pada tahap pembesaran dari ukuran bibit (bukan benih) sampai ukuran konsumsi. Kita ditantang mewujudkan budidaya breeding (pembenihan) dan menjadi produsen benih dan lobster dunia.

KKP sebagai lembaga yang berkompeten untuk hal tersebut sebetulnya tidak sulit untuk mewujudkan hal itu. Kita punya ribuan sarjana perikanan, puluhan fakultas perikanan, punya ratusan dosen dan tenaga ahli peneliti, puluhan doctor dan professor perikanan serta banyak fasilitas balai riset perikanan serta anggaran KKP Rp 8 triliun pertahun yang bisa dikolaborasikan untuk budidaya breeding lobster. Sebagai catatan KKP mempunyai pengalaman sukses melakukan breeding sejumlah ikan laut, diantaranya kerapu (Epinephelus), udang windu (Penaeus monodon), tuna (Thunnini), Rajungan dan banyak lagi termasuk ikan laut hias Nemo dan Kuda Laut.

Untuk mempercepat proses pembelajaran budidaya lobster ini, KKP seyogyanya mengirim sejumlah pelaku pembesaran lobster, tenaga penyuluh perikanan dan periset ke Vietnam untuk mempelajari teknik budidaya lobster yang baik dan benar. Sementara di intern KKP memacu balai riset dan melibatkan professor, doctor dan sarjana perikanan dari berbagai Universitas terkemuka mewujudkan budidaya breeding lobster. 

Oleh: Oki lukito | 28 Juni 2021

Relevansi Budidaya Vaname Perkotaan

Komoditas udang menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia sektor kelautan dan perikanan. Komoditas kelompok krustasea itu, diminati oleh negara seperti Amerika Serikat, Eropa dan Asia terutama Jepang. Untuk mendukung pengembangan ekspor udang lebih komprehensif, berbagai upaya dilakukan termasuk dengan menggenjot produksi udang dari berbagai jenis.Salah satunya jenis vaname (litopenaeus vannamei), primadona para pemilik sentra budidaya udang di Indonesia.

Untuk menggenjot produksi, teknologi yang digunakan semakin variatif seperti budidaya tambak semi intensif, intesif bahkan supra intensif dengan kepadatan tebar mencapai 1000 ekor per meterkubik. Sebelumnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sukses mengembangkan teknologi Bioflok untuk semua jenis ikan budidaya air tawar maupun payau termasuk udang vanamei

Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP pada akhir 2018 mengembangkan teknologi untuk budidaya vaname ultra intensif. Teknologi yang diberi nama Microbubble itu, menjadi andalan baru bagi produksi perikanan budidaya nasional untuk mengatasi kendala yang biasanya muncul. Seperti biaya listrik yang tinggi, modal yang besar untuk skala tambak, limbah yang tidak dikelola dengan baik, serangan penyakit, dan daya dukung lingkungan yang menurun.

Termasuk paling sering dialami juga oleh para pembudidaya udang, terutama skala kecil seperti rumah tangga pesisir. Budidaya udang hingga saat ini masih belum memberikan dampak secara ekonomi bagi mereka.

Persoalan itu harus dipecahkan. Budidaya udang skala rumah tangga bukan hal baru sebab pada tahun 2012, Ditjen Budidaya KKP menginisiasi teknologi budidaya udang skala rumah tangga yang merupakan modifikasi tambak dengan mengatur volume atau luas petak pembesaran udang untuk dapat menerapkan tenologi budidaya yang baik dan benar (CBIB).Dengan modal usaha yang kecil lokasi tambak skala rumah tangga dapat dilakukan pada kawasan estuarin mulai kawasan dekat garis pantai hingga menjorok ke daratan selama masih mendapatkan sumber air payau.

Budidaya udang skala rumah tangga relevan jika dikembangkan untuk wilayah pesisir utama di perkampungan nelayan. Pertama karena dekat dengan sumber bahan baku air laut atau payau. Kedua usaha skala rumah tangga ini dapat menjadi alternatif mengatasi persoalan ekonomi nelayan terutama di saat paceklik pada bulan Desember hingga bulan April. Program ini sebetulnya lebih tepat sasaran untuk penduduk di wilayah pesisir.

DKP Provinsi Jawa Timur sejatinya sudah memiliki perangkat untuk pengembangan teknologi budidaya air payau (udang) yang kompeten dan representatif untuk melakukan uji coba, inovasi, pengembangan budidaya semua jenis udang. Termasuk inovasi budidaya sekala kecil untuk rumah tangga. Selain Unit Plaksana Teknis (UPT) Pengembangan Budidaya Air Payau (PBAP) Bangil, Pasuruan yang mendapat tiga kali penghargaan Presiden, Pemprov Jatim juga memiliki Instalasi Budidaya Air Payau (IBAP) Prigi, Trenggalek, IBAP Lamongan, IBAP Probolinggo, dan Instalasi Tambak Dinas di Sidoarjo.

Hasil pengamatan dan informasi dari UPT Bangil dan beberapa Instalasi Air Payau dapat disimpulkan, pertama budidaya skala RT di perkotaan khusus udang vanamei walaupun hasilnya menjanjikan akan tetapi tidak relevan. Katakan walau hanya membutuhkan luasan lahan sekitar 70 meter persegi bahan baku air laut menjadi persoalan mendasar. Setidaknya untuk luasan itu dibutuhkan 105.000 liter atau 105 meter kubik liter air laut. Atau setara dengan 21 tangki isi 5000 liter.

Sementara harga air laut per gallon (19 liter) di Surabaya Rp 12.500. di Jakarta harga air laut per tangki isi 8000 liter Rp 4 juta. Untuk kolam bundar diameter 2 meter dengan kedalaman 1,5 meter dibutuhkan air laut 4.710 liter atau 248 galon isi 19 liter atau Rp 3,1 juta. Paling tidak untuk satu siklus (70-90 hari) dibutuhkan satu cadangan air laut dengan kapasitas yang sama.

Kedua, para penyuluh perikanan yang juga jumlahnya terbatas di daerah perkotaan juga menjadi kendala. Sebab budidaya vanamei lebih rumit dari beternak lele, udang air tawar, gurame atau ikan air tawar lainnya. Sehingga tenaga penyuluh sangat dibutuhkan untuk membimbing dan mendampingi pembudidaya vanamei. Jenis udang ini rentan diserang penyakit yang selalu muncul ialah early mortality syndrome (EMS) dan acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND). Ketiga adalah masalah limbah padat dan limbah cair yang jika tidak diolah akan mencemarkan lingkungan sekitarnya.

Mencermati pilot project udang vanamei yang ada di lingkungan rumah dinas Kelautan dan Perikanan Jatim di Ketintang, Surabaya tidak sekedar seperti yang diberitakan media yaitu dalam sekala kecil. Di dalam komplek tersebut sudah terbangun empat petak kolam beton (viton) berukuran 11,5 meter x 6 meter dalam 1,2 meter. Masing masing petak membutuhkan 82.800 liter atau 10 tengki air laut kapasitas 8000 ton/tengki. Di lokasi juga dilengkapi kurang lebih empat kolam bundar diameter 5 meter, tinggi 1,5 meter untuk penampungan air laut/back yard hatchery dan sejumlah kincir air. Sayang di lokasi tidak dilengkapi pengolahan limbah dan kolam penampungan limbah.

Oleh: Oki lukito | 28 Juni 2021

Terumbu Malang VS Pelabuhan Ikan

Jawa Timur layak disebut provinsi maritime memiliki total panjang garis pantai diukur dari pasang tertinggi sepanjang 3.498,12 km dan jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 427 pulau dengan jumlah pulau terdepan sebanyak 3 pulau, Panehan, Sekel (Kab.Trenggalek) dan Nusa Barung (Kab,Jember). Terdapat 22 kabupaten/kota mempunyai wilayah laut dengan bermacam keaneragaman hayati. Mangrove, terumbu karang dan padang lamun (seagrass) adalah kekayaan hayati yang dimiliki Jawa Timur yang mempunyai nilai ekonomi jika dikembangkan.

Hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang merupakan tiga ekosistem penting di daerah pesisir perairan tropika. Hutan bakau dan padang lamun berperan penting dalam melindungi pantai dari arus dan hempasan ombak, selain itu juga berperan penting sebagai tempat memijah, membesar dan mencari makan  berbagai biota, termasuk yang menghuni ekosistem terumbu karang. Diketahui bahwa ekosistem terumbu karang dihuni oleh  lebih dari 93.000 spesies.  

Memasuki tahun ketiga Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jatim tahun 2019-2024 jika dicermati terjadi penyimpangan pelaksanaan dokumen perencanaan 5 (lima) tahunan yang dalam penyusunannya berpedoman pada RPJMD  Provinsi Jawa Timur itu. Salah satunya implementasi perumusan kebijakan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya kelautan, antara lain pelestarian terumbu karang.

Dua tahun berturut turut DKP (tahun 2020-2021)  tidak menganggarkan rehablitiasi terumbu karang yang kondisinya semakin parah akibat pemanasan global (bleaching), eksploitasi, pencemaran dan kerusakan yang disebabkan bom ikan dan potasium. Rusaknya laut tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim saja, tapi juga ada bisnis dan permintaan yang besar untuk terumbu karang. Permintaan terumbu karang ini berasal dari dalam dan luar negeri.

Salah satu cara melestarikan terumbu karang dengan transplantasi, mengambil dari alam kemudian ditransplan ke subtrat (ditempelkan). Pertumbuhannya sangat lambat antara 10 – 15 cm/tahun untuk yang cabang dan 1 cm/tahun karang maship (bentuk otak dan jamur) bisa lebih pada kondisi tertentu. Di Indonesia belum ada yang berhasil membudidayakan dan mengembang biakan sampai pembesaran terumbu karang padahal ini yang disyaratkan untuk diekspor, bukan pengambilan dari alam. Pemasangan satu unit terumbu karang menghabiskan dana Rp 650.000- 1.000.000.

Ada 4 provinsi, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Bali yang memasok terumbu karang hias untuk diekspor 60 persen diantaranya ke Amerika. Sebanyak 31 perusahaan aktif melakukan ekspor, total ada 55 perusahaan anggota AKKI memiliki izin penangkapan alam 48 dan 7 murni transplantasi. Dominan berlokasi di Bali, Jawa Barat, dan Banyuwangi karena penerbangan lengkap ada di bandara Bali dan Soekarno Hatta. Sementara Indonesia tidak sendiri di pasar ekspor terumbu karang, Australia, negara-negara Pasifik seperti Palau, Vanuatu, Fiji merupakan pesaing.

Selain terumbu karang, luasan mangrove dan padang lamun kondisinya  juga memprihatinkan. Data dari DKP Jawa Timur, di perairan Surabaya, Sidoarjo, pasuruan, Kota Probolinggo, Bangkalan, Lumajang tidak ditemukan lagi terumbu karang. Dari luasan 17 ribu hektar hasil pendataan oleh DKP tahun 2020, Sumenep mempunyai luasan terumbu karang paling besar 14 ribu hektar disusul Gresik 1.500 hektar, Situbondo 700 hektar. Daerah lain umumnya di bawah 500 hektar.

Kerusakan terumbu karang akan lebih parah lagi dengan keputusan pemerintah (KKP) yang secara resmi membuka kembali perdagangan koral dan karang hias setelah ditutup pada 2018.  Diprediksi sekitar 20 ton terumbu karang dieksploitasi dari perairan Jawa Timur setiap bulan. Pemerintah Jawa Timur boleh dikata tidak memiliki kemauan serius untuk menyelamatkan kerusakan terumbu karang. Sementara DKP lebih senang berkutat membangun infrastruktur pelabuhan ikan bahkan di lokasi yang overfishing seperti di Selat Madura.

Tiga tahun lalu DKP mengucurkan dana sekitar Rp 100 miliar untuk mmbangun Pelabuhan Ikan di Kota Pasuruan yang kondisinya  sampai saat ini hidup emggan mati tak mau. Demikian pula Pelabuhan Ikan Paiton (Kabupaten Probolinggo) bertetangga dekat dengan Pelabuhan Ikan Mayangan, sudah menghabiskan dana hampir Rp 50 miliar sejak dibangun pertamakali tahun 2017.  Walaupun kondisinya sepi ikan dan tidak diminati kapal nelayan akan tetapi kembali mendapat kucuran dana Rp 9 miliar.

Sejujurnya jika dicermati kedua pelabuhan ikan yang berada di Selat Madura tersebut idle capacity.  Hasil pengamatan di Pelabuhan Ikan Paiton tidak lebih dari 50 kapal purse-seine memanfaatkan kolam pelabuhan. Ikan tembang, kembung yang dibongkar dari masing masing kapal tidak lebih dari 1 ton. Itu pun tidak setiap hari ada kapal yang membongkar ikan dan hasil tangkapan nelayan lokal itu ditimbang di TPI lama, di luar pelabuhan baru yang cukup luas itu.

Tahun ini DKP Jatim juga mengalokasikan dananya untuk pengembangan Pelabuhan Pondokdadap, Kab, Malang Rp 2 miliar. Pelabuhan Ikan Puger Jember Rp 2 miliar dan Pelabuhan Ikan Tambakrejo Blitar Rp 9 miliar. Pemprov Jatim juga sudah sepakat membangun pelabuhan ikan baru di Lumajang, Watuulo Jember dan di Kepulauan Sumenep.

Oleh: Oki lukito | 28 Juni 2021

Pendidikan Kemaritiman Jauh Layar dari Tiang

Sepanjang Pemerintahan Joko Widodo dua periode menjadi nakhoda Kapal NKRI, pengetahuan mengenai ilmu kelautan dan wawasan kemaritiman belum masuk dalam kurikulum atau perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan. Padahal, infiltrasi pemahaman konsep maritim bagi jenjang pendidikan dasar dan menengah menunjang reorientasi generasi muda pada kesadaran wawasan nusantara berbasis kebaharian sesuai visi Poros Maritim Dunia.

Pendidikan maritim seyogyanya diimplementasikan sejak dini, salah satunya melalui lembaga pendidikan. Sejak dibuat Panduan Implementasi Kurikulum Pendidikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017, implementasinya jalan di tempat. Kecuali di sekolah tertentu seperti HangTuah atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kelautan atau Perikanan yang memang sudah berjalan.

Kendalanya bukan hanya berasal dari sekolah tetapi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang bertanggung jawab terhadap program kurikulum kemaritiman. Minimnya anggaran, programnya baru, misskomunikasi dengan daerah tujuan program, pelaporan kegiatan yang semakin banyak merupakan faktor kendala belum terlaksananya program kurikulum kemaritiman seperti yang diharapkan. Tidak semua guru dan mata pelajaran sekolah yang bisa diintegrasikan sehingga terhambatnya proses implementasi program kurikulum kemaritiman tersebut. Sangat disesalkan jika realiasanya Jauh tiang dari layarnya.

Untuk menanamkan visi kelautan dalam rangka membangun kembali semangat dan jati diri bangsa bahari, diperlukan upaya sejak dini dan berkelanjutan. Hal itu bisa dimulai pada pendidikan formal disetiap level yaitu di tingkat pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.

Faktor penting yang menyebabkan kita terpuruk di laut karena mata pelajaran kemaritiman tidak pernah diajarkan di sekolah. Sebaliknya generasi muda yang terlanjur mengenyam pendidikan paradigma darat, tidak mempunyai minat menekuni apalagi mengembangkan potensi lautnya. Sejatinya pendidikan bahari pada strata pendidikan formal sangat dibutuhkan untuk menanamkan dan menumbuhkan kembali semangat serta jiwa bahari bangsa.

Bentuk atau muatan pelajaran bahari bisa diintegrasikan dengan mata pelajaran secara langsung ataupun dikemas dalam mata pelajaran lain yang telah ada. Misalnya, anak didik dan masyarakat umum akan mendapat banyak manfaat dari pelajaran bahari dalam kemasan Geopolitik untuk membangkitkan semangat cinta tanah air .

Dari Cinta tanah air akan membangkitkan karakter nasional yang menjadi salah satu kekuatan nasional. Hal ini bisa diaplikasikan dalam mata pelajaran lain yang sudah ada seperti Ilmu Pengatahuan Alam, Olahraga, Sejarah, budaya, kesenian atau pelajaran ekstra kulikuler seperti Pramuka Saka bahari dan hampir di semua muatan mata pelajaran di sekolah dasar hingga menengah atas dan perguruan tinggi. Dengan ditetapkannya pelajaran bahari dalam kurikulum pendidikan nasional, diharapkan akan mengikis warisan budaya kolonial yang berusaha ditanamkan secara halus dan sistemik pada generasi muda.

Jika dicermati draft kurikulum pendidikan yang berjalan, bangsa ini dan pemangku kepentingan pendidikan khususnya, telah melupakan jati diri dan kodratanya sebagai bangsa bahari. Padahal ini penting untuk membentuk karakter bangsa maritim.

Lalu dimana kepedulian bangsa ini yang negaranya memiliki luas wilayah laut 5,8 juta kilometer persegi atau 62,80 persen dari total wilayah Indonesia, memiliki garis pantai 95.150 kilometer terpanjang setelah Kanada, USA, Rusia Federasi, serta aset berupa 17. 480 pulau tersebar dari Pulau Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga Rote itu?

Sayangnya competitive advantage  tersebut belum memberikan manfaat ekonomi bagi negara. Pasalnya, kontribusi PDB dari sektor maritim masih sekitar 20 persen, sangat jauh dari harapan, padahal  potensi ekonomi sektor kelautan yang potensial untuk dimanfaatkan seperti dari sektor perikanan, bioteknologi, pertambangan, energi, pariwisata bahari, industri maritim dan perhubungan laut, setiap tahun diasumsikan dapat menghasilkan sekitar Rp 5000 triliun.

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini terjadi pergeseran ekonomi dunia dari Samudera Atlantik ke Pasifik sehingga posisi Indonesia sangat strategis, sebab 75 persen komoditas perdagangan dunia melewati perairan Indonesia. Kita juga belum mampu memanfaatkan koridor Alur laut kepulauan (ALKI) untuk kepentingan pertahanan, perekonomian dan sosial budaya. Kita menjadi penonton di negeri sendiri karena paradigma pembangunan masih berorientasi darat.

Sebagian besar masyarakat justru memandang laut sebagai tempat menakutkan, kawasan kumuh dan tidak layak dijadikan ranah mata pencaharian. Masyarakat lebih banyak mendengar mitos, misteri, dan cerita menakutkan dari laut ketimbang kisah kebesaran Sriwijaya, Kerajaan Agro-Maritim Majapahit dan kedigdayaan Patih Gajah Mada serta Ketokohan Panglima laut atau Jaladimantri Nala yang sukses memimpin armada Majapahit menyebrangi samudra dan menaklukan Madagaskar.

Demikian pula kekuatan maritim Kerajaan Demak hanya sepintas diketahui anak didik dan generasi muda. Padahal kerajaan ini mampu mengirim armada laut yang dipimpin Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor dengan mengerahkan 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit untuk menyerbu Portugis di Malaka.

Potensi kelautan Indonesia sangat besar dan beragam, pemberdayaan maupun pengelolaannya mengandung permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan terberat yang dihadapi oleh bangsa ini dan harus mendapatkan prioritas adalah bagaimana memperthankan semangat bahari. Salah satu cara yang dianggap tepat adalah dengan membangun sumber daya manusia melalui jalur pendidikan. Seluruh potensi laut Indonesia yang berlimpah ini, hanya bisa ditransformasikan menjadi aset apabila mendapatkan sentuhan iptek dan ditangani oleh SDM unggul dan profesional.

Oleh: Oki lukito | 28 Juni 2021

Menagih Janji KJA Offshore ITS-DKP

Demam Keramba Jaring Apung (KJA) Offshore yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2017 merambah di Jawa Timur. ITS berkolaborasi dengan PT. Pertamina dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Timur diwakili UPT. Pelabuhan Pondokdadap menggagas Pilot Project, dinamakan Ocean Farm ITS untuk pengembangan Offshore Aquaculture dan Marine Eco-Turism.

Lokasi yang dipilih Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITS untuk mewujudkan syahwatnya itu berada di Teluk Sidoasri atau lebih dikenal sebagai Pantai Perawan di Malang Selatan. Di tempat ini rencana dibagun KJA Offshore pengembangan budidaya lepas pantai ikan pelagis besar, tuna (thunus) dan kakap putih (lates calcalifer). Sementara ikan tuna yang menjadi andalan ekspor Indonesia sejak lama memang sampai saat ini masih dalam tahap percobaan budi daya. Lebih dari 20 tahun dicoba dikembangkan di Pusat Riset KKP di Gondol, Bali belum berhasil.

Konsep Ocean FarmITS itu memadukan aspek budidaya ikan dengan wisatabahari. Struktur bawah (jaring yang berada di dalam laut) untuk budidaya ikan sedangkan struktur diatas untuk wisata bahari (hotel terapung). Konsep ini berbeda dengan yang dibuat KKP di Pangandaran (Jawa Barat), Sabang (Aceh), dan Karimun Jawa (Jawa Tengah) diperuntukkan budidaya ikan saja. Sayangnya proyek KKP bersumber dari anggaran KKP 2017 saat ini mangkrak. Sementara anggaran Rp114 miliar untuk pembangunannya pun telah habis dipakai.

Konsep yang digagas LPPM ITS sebetulnya cukup bagus. Alasannya, saat ini di Indonesia telah banyak dikembangkan struktur budidaya ikan (aquaculturecage) di daerah dekat pantai (near shore) di beberapa daerah yang memiliki wilayah pantai dan kondisi laut yang bersih. Tetapi sistem budidaya di wilayah pantai ini hanya cocok untuk ikan tertentu yang ukurannya tidak terlalu besar seperti ikan Kerapu dan Lobster. Negara-negara maju (Norway,USA, Spanyol, Rusia) telah mengembangkan industri budidaya ikan di wilayah lepas pantai (offshore aquaculture) untuk ikan jenis pelagis ukuran besar.

Apa yang terjadi di Sidoasri kasusnya sama dengan pendahulunya di Pangandaran, Aceh dan Karimunjawa. Masyarakat Sidoasri, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang harus menelan kecewa. Proyek yang digadang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir senilai Rp 1,3 miliar yang dananya berasal dari LPPM ITS Rp 500 juta, Pertamina Rp 800 juta dan mulai dikerjakan awal tahun 2000 itu mangkrak setahun lebih. Kontruksi hotel terapung yang dirancang tahan gelombang kondisinya memprihatinkan dan belum diapungkan di laut. Lantai papan untuk dek kegiatan keramba rusak dan rangka besinya sebagian berkarat. Belum tampak sama sekali pembuatan jaring untuk budidayanya. Bangunan ini disesalkan masyarakat setempat karena merusak pemandangan keindahan sekitar Pantai Perawan Sidoasri.

Di Internal DKP Jawa Timur pilot project tersebut juga menimbulkan masalah. Unit Pelaksana Teknis (UPT). Pondokdadap danggap mbalelo dan tidak sejalan dengan Bidang Budidaya DKP yang tidak dilibatkan sejak awal. Hal itu membuktikan buruknya menejemen koordinasi antarbagian di DKP Provinsi Jawa Timur.

Ada yang menganggap proyek itu setengah hati. Sementara DKP bersikukuh tidak memproses perijinannya mengingat wilayah tersebut sesuai Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Jawa Timur Tahun 2018-2038. Wilayah perairan Sidoasri dinyatakan wilayah konservasi laut dan tertutup untuk kegiatan budidaya dan Hotel terapung.

LPPM ITS tampaknya harus berjuang keras dapat mewujudkan proyek tersebut jika tidak ingin disebut mengerjakan proyek abal abal dan membodohi masyarakat pesisir. Pemilihan lokasi di Teluk Sidoasri, Kabupaten Malang yang dinyatakan sebagai wilayah konservasi, merupakan kesalahan fatal. Sebab  ITS yang merumuskan dan mengerjakan RZWP3K bersama sama DKP dan stakeholder kelautan dan perikanan Jawa Timur sebelum dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur.

Oleh: Oki lukito | 28 Juni 2021

Kalimas Heritage Port

Wacana menjadikan Pelabuhan Kalimas sebagai Heritage Port mengemuka dalam diskusi terbatas DPD. Pelayaran Rakyat (Pelra) Jawa Timur beberapa waktu lalu yang dihadiri praktisi, akademisi serta pemangku kepentingan lainnya. Pelabuhan Kalimas atau Pelabuhan Gresik yang kental dengan aktivitas pelayaran tradisional antarpulau dinilai layak dijadikan Heritage Port dilatar belakangi sejarah kedua pelabuhan ini. Adalah GM Pelabuhan Kalimas, Dhany Rachmad yang mengusulkan agar Pelabuhan Kalimas dijadikan Heritage Port untuk pengembangan kawasan tersebut.

Ada baiknya wacana tersebut dijajagi kemungkinannya. Sebab selain sudah dinyatakan sebagai Cagar Budaya, pelabuhan Kalimas memungkinkan menjadi daerah tujuan wisata bahari dengan menghadirkan kapal kapal phinisi serta berfungsi pula sebagai fishing port, tempat berlabuhnya kapal kapal Yacht. Sekaligus rencana ini akan mengembalikan marwah Kalimas sebagai pusat kegiatan pelayaran rakyat yang jumlah kapanya semakin menyusut.

Pengembangan pelabuhan Kalimas menjadi Heritage Port secara otomatis juga akan meningkatkan pendapatan di sektor properti. Sementara itu, bagi pemerintah kota Surabaya Heritage Port juga akan menjadi ikon baru kota yang akan menarik minat wisatawan. Perlu diketahui Kota pelabuhan menghadapi tantangan keberlanjutan yang sangat besar. Dengan rencana itu Pelabuhan Kalimas sebagai salah satu pusat perekonomian kota Surabaya akan kembali bergairah.

Sejumlah pelabuhan di Jawa sudah menginisiasi Heritage Port ini seperti Pelabuhan Sunda Kelapa, Cirebon dan Cilacap dengan perencanaan matang.  Dibuatlah Rencana Induk Pelabuhan (RIP) atau merevisi Master Plan yang sudah dibuat sebelumnya. Sebagai negara yang kaya keanekaragaman, Indonesia memiliki berbagai warisan budaya yang layak dilestarikan, salah satunya budaya bahari. Beberapa diantaranya bahkan sudah mulai sulit ditemukan. Karena itulah, pemerintah tengah menggalakkan pengenalan sejumlah warisan budaya tanah air kepada dunia. Apakah nantinya Pelabuhan Kalimas sebagai warisan budaya bahari mampu meyakinkan UNESCO dalam melestarikan kebudayaan dunia?

Beberapa peserta diskusi memang tidak sependapat jika hanya Pelabuhan Kalimas yang dijadikan Haritage Port. Selain factor kedalaman alur, labar dermaga jadi penghambat utama. Bahkan salah seoarang peserta diskusi, Djumir, pemilik 8 Kapal dan pemain lama Kalimas dan di Pelabuhan Gresik mengusulkan agar Pelabuhan Gresik juga dijadikan Heritage Port. Alasannya lebih dari 150 kapal rakyat melakukan aktivitas di Pelabuhan Gresik. Usulnya untuk mendatangkan lagi kapal rakyat di Pelabuhan Kalimas yang saat ini hanya disinggahi kurang dari 50 kapal rakyat, tantangannya cukup dengan melakukan pengerukan lumpur di alur sungai hingga kedalaman 4-5 meter.

Untuk menghidupkan kembali aktivitas kapal rakyat di Pelabuhan Kalimas tidak cukup dengan revitalisasi pelabuhan. Salah satu kendalanya soal muatan. Pada umumnya kapal harus menunggu minimal dua minggu hingga dua bulan untuk memenuhi muatan dan berangkat ke pelabuhan tujuan. Insiatif Pelindo 3 mempertemukan sejumlah BUMN dengan Asosiasi Pelra agar kapal rakyat bisa mengangkut antaralain beras, gula, semen, pupuk, tiang listrik, panel lstrik tenaga surya secara rutin keberbagai daerah tujuan segera harus disikapi Pelra. Hal itu sekaligus tantangan bagi armada Pelayaran Rakyat sebagai kapal dagang bukan kapal jasa.

Surabaya sebagai kota Maritim selayaknya memiliki Fishing port seperti di Ancol, Jakarta. Selama ini pemilik fishing boat, jumlahnya sekitar 200 kapal tidak tertampung di Pelabuhan KP3 Tanjung Perak. Beberapa kapal parkir di pantai boom Tuban atau Benoa, Bali. Kebutuhan kapal wisata seperti phinisi yang dapat memenuhi permintaan pasar wisatawan lokal maupun mancanegara seperti diinfokan Dhany Achmad semakin meningkat. Kehadiran kapal phinisi akan mengairahkan wisata bahari di Kota Surabaya.

Pilihan Pelabuhan Kalimas atau Pelabuhan Gresik maupun keduanya menjadi heritage port tidak melepas kemungkinan peran aktif kepala daerah masing masing. Selain itu partisipasi stakeholder kemaritiman, ahli sejarah di Surabaya dan Gresik perlu dilibatkan. Sebagi kota maritim Surabaya dan Gresik yang sarat budaya bahari membutuhkan ikon baru yang bisa menjadi pemicu untuk mendatangkan investasi dan peluang usaha di sektor wisata bahari.

Oleh: Oki lukito | 28 Juni 2021

Balada Kapal Perang Tua

Himpunan Anak-anak Masjid (HAMAS) Jogokariyan, Yogyakarta pasca tenggelamnya kapal Selam Naggala-402 mengadakan penggalangan dana untuk pembelian kapal salam baru. Wujud kecintaan mereka kepada Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar itu patut diapresiasi. Reaksi tersebut juga dapat diartikan sebagai sindiran kepada rezim yang abai terhadap alat utama sistim pertahanan (alutsista) tua yang seharusnya sudah dimusiumkan atau dimusnahkan. Lupakan soal harga kapal selam tetapi empati yang dicuatkan kelompok anak muda itu sungguh luar biasa.

Selain Nanggala yang dipesan tahun 1977, rezim Orde Baru membeli kapal selam KRI Cakra-401 tahun 1981 dari pemerintah Jerman. Cakra saat ini dalam proses perbaikan sistim kapal (overhaul) di Galangan Kapal PAL Surabaya sejak setahun lalu. Indonesia juga mempunyai tiga kapal selam baru yang dibeli pemerintah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. KRI Nagapasa-403 dan KRI Argadedali-404 dipesan dan dibuat di Korea sedangkan KRI Aluguro-405 (Chang Bogo Class) dibuat di galangan kapal PT. PAL menggunakan skema transfer teknologi dari Daewoo Shipbuilding and Marien engineering (DSME) Korea Selatan. Aluguro entah kenapa sampai sekarang belum bisa dioperasikan sejak masuk jajaran TNI-AL Januari 2020.

Perlu diingat Nanggala bukan satu satunya KRI yang tenggelam di dasar laut. Sebelumnya tahun 2018 KRI Pulau Rencong-622 buatan Tacoma SY, Masan, Korsel tahun 1979 terbakar dan tenggelam di perairan Sorong, Papua Barat semua penumpangnya selamat dalam insiden yang menimpa kapal buatan 1979 itu. Tahun 2020 lalu kapal perang Tentara Nasional Indonesia, KRI Teluk Jakarta-541 buatan tahun 1979 oleh  VEB Peenewerth, Wolggast, Jereman Timur itu tenggelam di perairan arah timur laut Pulau Kangean, Jawa Timur.

Sebagai catatan 39 kapal asal Jerman Timur dibeli Indonesia dalam kondisi bekas tahun 1993. Kapal itu dibuat sekitar tahun 1978 padahal mulai usia di atas 10 tahun, combat power kapal perang mengalami degradasi. Demikian pula kapal tua membutuhkan biaya perawatan yang berlipat ganda dibandingkan dengan kapal baru.

Sejujurnya anggaran militer Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir kurang menjawab kebutuhan TNI terutama untuk peremajaan dan modernisasi kapal perang. Peremajaan semestinya dilakukan dengan skala prioritas terukur karena anggaran terbatas. Sementara dari anggaran kementerian pertahanan Rp 136 triliun itu tidak semua digunakan untuk membeli persenjataan, 50 persen anggarannya digunakan untuk gaji dan operasional pegawai.

Tahun 2020, Kemenhan mendapatkan alokasi belanja sebesar Rp131,3 triliun yang merupakan anggaran terbesar kedua setelah Kementerian PUPR. Dari jumlah tersebut, Kemenhan berhasil merealisasikan anggaran belanja sebesar Rp117,9 triliun. Mengutip Nota Keuangan APBN 2021, apabila ditengok berdasarkan program kerja kementerian, mayoritas dana tersebut digunakan untuk tiga program. Meliputi program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra darat sebesar Rp46,14 triliun, program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra laut Rp12,62 triliun, program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kemenhan Rp12,14 triliun.

Bandingkan dengan anggaran Tol Laut yang digadang-gadang mampu mewujudkan bagian Poros Maritim Dunia. Sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-219 pemerintah membangun 24 pelabuhan dengan nilai Rp 39,5 triliun. Dana yang besar juga dikucurkan untuk pembuatan ratusan kapal kontainer, kapal rakyat dan kapal perintis nilainya Rp 57,3 triliun. Belum ternasuk biaya APBN yang dihabiskan untuk mensubsidi trayek dan logistik Tol Laut sebesar Rp 1 triliun.

Anggaran Kemenhan dinilai masih jauh di bawah rencana strategis Kemhan dan TNI. Anggaran yang ideal 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sekitar Rp 240 triliun, itu baru dia bisa mengejar ketertinggalan di seluruh lini, baik di alutsista (alat utama sistem persenjataan), di kemampuan prajurit dalam pertempuran, kemudian sarana prasarana, sampai dengan kesejahteraan.

Untuk menjadikan Poros Maritim Dunia, Presiden Joko Widodo pernah berjanji meningkatkan anggaran belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI hingga 1,5 persen dari angka produk domestik bruto (PDB) selama masa kepemimpinannya. Jokowi juga berjanji akan melanjutkan capaian yang telah diraih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam hal peningkatan anggaran alat utama sistem pertahanan (alutsista) bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Faktanya tak satu kapal perang berkelas dibeli untuk kepentingan pertahanan Negara.

Older Posts »

Kategori